Hampir
setahun berlalu sejak kejadian tembak-tembakan ala film Hollywood yang berlangsung
di Jembatan Timah. Eliana bersama sahabatnya, Gabia, sempat terseret bahaya
dalam pembongkaran kasus korupsi seorang gubernur bernama Kusuma Priyatno. Tembakan
anak buah gubernur itu meninggalkan bekas luka yang tak mungkin hilang di
lengannya. Eliana menyentuh lengan atasnya yang terkadang masih sedikit nyeri. Dengan
adanya kasus itu, penguasa tertinggi saat ini menjadi lebih berhati-hati dan
ketat dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan kasus korupsi dan tindak
pidana lainnya yang melibatkan jajaran birokrat. Entahlah dengan alasan serius
atau hanya sekedar akting pencitraan untuk pemilihan tahun depan, setidaknya
akhir-akhir ini penguasa tertinggi negeri sedang gencar-gencarnya menggerakkan
kampanye anti-korupsi.
Jam dinding
di ruang praktik Eliana menunjuk pada pukul tujuh malam. Ia tengah bersiap-siap
pulang setelah sesi pasien terakhirnya, seorang anak SMA yang jika curhatannya
dirangkum, bisa ditarik kesimpulan bahwa penyebab depresinya adalah karena rasa
cinta yang tidak bisa ia utarakan disebabkan kepribadian yang terlalu tertutup.
Hari ini
adalah hari pertama Eliana membuka kliniknya kembali setelah sekian lama tutup
karena dia sempat dirawat di rumah sakit dan rutin terapi fisik. Ia menukar
sepatunya dengan sepatu sneaker yang jauh lebih nyaman dipakai. Ia biasa
melakukannya saat jam pulang dalam rangka terapi kakinya yang cedera.
“Saya pulang
ya, Mir. Kalau kamu udah selesai, langsung tutup aja, ya.”Eliana menyapa asistennya
ramah.
“Baik, Bu. Ngomong-ngomong,
Pak Xander sudah menunggu di depan.”kata Mirna malu-malu, membuat Eliana sedikit
bingung kenapa asistennya sampai merona merah begitu. Eliana melongok ke depan
untuk melihat sosok yang tampaknya sedang serius membaca majalah ekonomi di
lobi klinik. Hmmm, tampaknya Eliana langsung paham. Yah, dengan wajah tampan
dan fisik sempurna seperti itu pasti memang mudah sih membuat perempuan muda
tersipu-sipu, meskipun ia hanya bersikap datar sekalipun.
Gak papa, kalau
kamu boleh kok kalau cuma lihat aja, Mir. Soalnya hatinya kan punya aku~. Eliana
senyam-senyum sendiri. Hentikan, El. Hatinya belum tentu milikmu,
celetuk hati Eliana.
“Pak Xander itu
tunangan bu El, ya?” Mendengar pertanyaan Mirna itu, Eliana hampir saja
mengangguk cepat, tapi ia langsung melakukan manuver menjadi sebuah gelengan.
“Iy, eng,
enggak, bukan. Teman saya. Teman ayah saya. Kita ada hubungan bisnis. Emm, oh
iya, jangan lupa tolong kunci ruangan gudang juga, ya, kalau habis ambil
sesuatu, Mir. Sampai besok.”Eliana melambaikan tangan, menyapa resepsionis
lobi, kemudian berjalan menghampiri Xander. Pria yang merupakan bodyguard
pribadinya, yang hidupnya dibiayai oleh ayah Eliana sejak kecil. Xander
merupakan lulusan hukum, dan juga bekerja sebagai pengacara. Ia sendiri baru
mengenal Xander beberapa bulan lalu, saat ia terlibat pembongkaran kasus
korupsi pak Kusuma.
“Kamu ngapain
hari ini juga ke sini segala? Bukannya lagi banyak kerjaan, ya?”
“Saya
khawatir.” Tuh, kan. Dia membalikkan badannya sedikit untuk memalingkan
wajah, berupaya menyembunyikan sunggingan senyumnya, sekaligus memastikan bahwa
Mirna dan resepsionis mendengar pernyataan manis dari Xander barusan.
“Toh, ini adalah pekerjaan saya sebagai bodyg-”Eliana tersentak,
“Woh! Duluan
semuanya! Sampai jumpa besok, ya!! Bubye~!”Eliana berseru riang,
terburu-buru menarik paksa lengan Xander untuk keluar klinik.
“Gak usah
ngomong-ngomong soal bodyguard, deh. Terlalu menarik perhatian tahu,
lagian anak-anak itu bisa mikir yang macem-macem dan parno.”protes Eliana
dengan suara pelan.
“Ok, sorry.
Saya lupa.”
Mereka mulai
berjalan berdua menuju restoran terdekat, hendak makan malam sebelum pulang
dengan kendaraan umum. Pulang dengan bis umum adalah ide Eliana. Ia ingin
membiasakan kakinya bisa berjalan dengan normal lagi, selain itu kejadian
penculikan di mobil beberapa bulan lalu masih sangat membekas di ingatannya, sehingga
membuatnya sedikit kurang nyaman saat harus duduk di mobil. Bisa dibilang itu
adalah alasan resminya. Meskipun sebenarnya ia juga memiliki motif lain.
Beberapa
ibu-ibu, dan wanita muda melirik Xander yang berjalan di samping Eliana,
beberapa dari mereka lantas berbisik melontarkan kalimat kekaguman. Bahkan ada
yang secara terang-terangan takjub memandang wajah dan badan Xander. Ini memang
sudah pasti kesalahan Xander. Sudah punya wajah tampan, postur bagus, baju yang
dipakai pun terlalu perlente dan serasi di badan. Mengundang cobaan bagi para
wanita. Sejak beberapa bulan lalu El memang sudah sering merasakannya. Meski
awalnya ragu untuk mengungkapkan pendapatnya, tapi hari ini ia sudah memutuskan
untuk mengatakannya secara langsung.
“Hei.
Xander.”
“Bisa gak,
kamu itu ya, kalau datang ke klinik, atau jalan sama saya, gak usah tuh pakai
jas atau rompi segala. Udah kayak ahjussi-ahjussi CEO atau birokrat di
drama korea aja.”
“Tapi saya
memang terbiasa rapi, karena sering bertemu client-client penting. Jadi ini
yang saya pakai tadi di kantor”
“Ya udah
copot aja, copot. Rompinya aja maksudnya, bukan semuanya. Lagian kurang pantas,
soalnya kita kan mau naik bis. Itu juga dasi sepertinya lebih baik dilepas”
“Baik.”Dengan
cepat Xander melepaskan rompi dan dasinya, dan menyampirkannya di tangan,
kemudian ia menggulung lengan bajunya sampai siku. Wah, gak bener ini. Malah
semakin ganteng.
“Gak usah,
ini gak usah digulung. Ini juga dua kancing yang atas tutup. Aurat. Nanti kamu malah
disangka gigolo, aku tantenya.”kata Eliana, berkelakar sambil mengedipkan mata.
Xander menurut, mengancingi kemejanya dengan rapi, kemudian kembali berjalan
tanpa bicara apapun.
***
Sejak
kejadian beberapa bulan lalu, ayah Eliana menjadi lebih protektif. Ia meminta
El untuk tinggal di rumahnya, tapi Eliana segera menolaknya. Eliana tahu akan
maksud baik ayahnya. Tapi, kalau yang dimaksud sang ayah adalah masalah keamanan,
ia tidak setuju. Rumah seorang idealis dari lembaga independen anti korupsi
tidak mungkin bisa dikatakan aman. Selain itu ia juga merasa cukup bisa menjaga
dirinya sendiri. Di luar kedua hal tersebut ia merasa belum siap tinggal
bersama lagi dengan ayahnya. Ia masih merasa asing harus memperlihatkan sisi
lainnya kepada orang-orang di rumah itu, meskipun mereka adalah keluarganya
sendiri. Maka dari itu sebagai gantinya, sang ayah meminta Xander untuk
menjaganya dengan baik.
Setelah makan
malam, Xander mengantarnya sampai depan apartemen. Begitu Xander pergi, Eliana melemparkan
tasnya sembarangan di atas kasur, mandi yang bersih, dan langsung mengganti
pakaian kerjanya dengan pakaian tergembel yang ia miliki. Ini adalah sisi lain
Eliana yang tidak mungkin ia tunjukkan pada orang-orang lain. Sosoknya
dengan balutan daster usang, rutinitas menonton film komedi diiringi derai tawa
yang terbahak-bahak, sambil ditemani keripik kentang yang ia timbun di lemari
makannya. Tak lupa berkomunikasi dan mengelus-elus perut kucingnya yang bernama
Vladimir Putin. Hal-hal tersebut hanya bisa dilakukan di apartemennya dengan
bebas. Mungkin yang dilakukannya ini adalah sebuah pelampiasan atas tumpukan masalah yang didengarnya di ruang pasien.
Waktu ia
berusia sembilan tahun, ia pernah berusaha melindungi anak laki-laki yang
disukainya, saat anak tersebut dirundung oleh anak-anak laki lain. Eliana menghabisi
anak-anak nakal itu menggunakan kemampuan bela diri yang telah baru saja
dipelajarinya. Namun, di luar dugaan, merasa harga dirinya terluka karena
dilindungi oleh seorang anak perempuan kurus, anak lelaki yang dirundung itu
menolaknya, bahkan menghina Eliana dengan sebutan tomboi. Sejak saat itu Eliana
bercita-cita untuk menjalaninya hidupnya sebagai cat lady mapan yang
tidak perlu bersedih hati karena cinta. Akan tetapi, bertemu dengan Xander
membuatnya mulai berpikir ulang tentang cita-citanya tersebut.
Suara beratnya,
postur tubuhnya yang tinggi semampai, garis wajahnya, tatapan matanya,
kecerdasannya, bahkan jakunnya yang naik turun saat menelan makanan membuatnya
tertarik.
PLAK!
Eliana
menampar dirinya dengan keras, marah dengan dirinya sendiri yang bisa-bisanya
berpikiran mesum.
“Halah. Bisa
gila.”
“Gue adalah
psikiater dan gue gak butuh bantuan psikiater lainnya.” Ia menggeleng-gelengkan
kepalanya dengan kuat, meyakinkan diri.
Dipikir-pikir,
bagaimana pun juga hubungan mereka tidak lebih dari sekedar bodyguard
dan user. Meskipun ia hampir selalu bersama dengan Xander karena fakta
tersebut, mereka tidak memiliki hubungan emosional apapun. Xander hanya
bersikap sebagai seorang profesional dan bisa jadi ia tidak memiliki perasaan
apapun padanya. Kesetiaan yang pernah dibahas oleh Bia menurut El hanyalah
sebagai bentuk loyalitas dari seseorang yang merasa berhutang budi kepada
ayahnya. Membutuhkan usaha lebih untuk menggali apa yang dipikirkan oleh orang
itu. Terlebih, akhir-akhir ini ia tampak lebih pendiam dan miskin ekspresi.
Meskipun El paham bahwa bodyguard-nya itu tampak sedikit murung dan
tertekan, ia belum bisa memutuskan secara pasti apa yang menjadi penyebabnya.
“Bagaimana
ini, Putin? Aku kok kayaknya jadi rada gila gini…”Eliana mengelus-elus leher kucing berwarna
abu-abu solid itu.
Eliana
mencoba mengalihkan pikirannya, menyalakan televisi dengan remot yang ada di
dekatnya, kemudian mulai melipat baju-baju yang baru saja diangkatnya dari
jemuran di balkon.Saluran
televisi yang dipilihnya menampilkan sosok gubernur bernama Aditya Ismail, yang
sempat ditemuinya sebulan lalu, saat acara pelantikan. Ia dan ayahnya sempat
diundang secara pribadi oleh gubernur tersebut, setelah namanya disebut-sebut
sebagai pahlawan karena berhasil melakukan tindakan patriotik dalam melindungi
barang bukti serta upaya pembongkaran kasus mega korupsi. Gubernur tersebut
adalah pengganti Kusuma Priyatno.
Aditya
merupakan politisi yang memiliki kredibilitas tinggi, track record
bersih, baru berusia tiga puluh tiga tahun, dan berkecimpung di dunia politik
sejak berusia dua puluh enam tahun.
Kecepatan dan
ketegasannya sebagai bupati dalam menangani pandemi dua tahun yang lalu,
membuatnya mendapatkan pujian dari berbagai pihak, meskipun awalnya sempat
ditentang pemerintah pusat.
Kalimatnya
yang terkenal adalah,
“Mungkin akan
banyak orang yang menganggap saya berlebihan atau bahkan dungu sekalipun. Akan
tetapi, tidak masalah, saya yang akan bertanggung jawab. Saya tetap keluarkan
status darurat, dan saya akan secara bertahap mempersiapkan keperluan warga
saya, jika sewaktu-waktu lockdown diberlakukan. Sekolah untuk sementara akan
kami liburkan selama empat belas hari dan dapat diperpanjang sesuai kondisi.” Blas!
Kontroversi pun terjadi, yang mendukung dan yang membenci saling berteori,
namun pada akhirnya keputusannya tersebut bahkan dipuji oleh gubernur
provinsinya, bahkan dicontoh oleh pemerintah daerah lain dan pemerintah pusat.
Wajah khas melayu
dengan garis wajah tegas dan mata tajam, fisik yang tinggi ramping, latar
belakang keluarga, bahkan sampai status duda ditinggal mati pun menjadi buah
bibir masyarakat. Nampaknya apa yang terdapat pada gubernur muda ini adalah
magnet bagi masyarakat luas, khususnya kaum ibu-ibu. Mereka bahkan
menggadang-gadangnya sebagai bibit presiden masa depan.
Mengetahui
bahwa Eliana juga menyukai aktivitas wisata pada saat pertemuan bulan kemarin,
gubernur itu kembali menghubunginya beberapa hari lalu, mengundang Eliana
secara resmi untuk datang dalam acara peresmian Taman Air Mancur sebagai bagian
dari obyek pariwisata baru awal bulan depan. Eliana tentu dengan senang hati
menerima undangan tersebut.
“Should
I?”Eliana tampak berpikir ragu, menimbang-nimbang sebuah rencana.
***
“HIYYAH!!”
Dua bilah papan yang ditumpuk itu terbelah dihantam hanya dengan sebelah
tangan. Setelah berhasil menghancurkannya, sosok wanita yang dibalut busana
karate dengan sabuk hitam itu menghembuskan napas.
Kali ini ia
bersiap untuk menumpuk bata-bata merah yang masih utuh, yang sudah disiapkannya
sejak tadi. Setelah beberapa batu-bata itu selesai ia tumpuk dengan rapi, ia
kemudian memejamkan mata sambil mengepalkan tinjunya, memusatkan seluruh
konsentrasinya. Seolah segala kemampuan dan konsentrasinya dialirkan menuju
kepalan tangan itu.
“HEYYAHH!!”
BRAK! Tumpukan batu bata itu hancur berkeping. Gabia tersenyum bangga melihat
karyanya itu. Ia merapikan poni menggangu yang menutupi sebelah matanya. Rambut
sebahunya yang hitam dan lurus itu dikuncir ketat.
Sementara dua
orang lelaki yang sedang berdiri di ruang televisi itu meringis secara
bersamaan, sedikit membungkuk, ngilu menyaksikan Bia yang tengah berlatih
karate di halaman belakang. Ruang tengah
dan halaman belakang itu dibatasi dengan kaca dan pintu transparan sebagai
pengganti dinding. Pria setengah baya yang satunya adalah ayah dari Gabia,
bapak Sarwani. Sementara pria yang satunya lagi bernama James Wijaya, lajang
berusia tiga puluh tahun, berperawakan tinggi, rahang tegas dan kulit yang kuning
langsat. Ia adalah mantan anak buah pak Sarwani, saat pak Sarwani masih
menjabat sebagai presiden direktur surat kabar berbahasa inggris di ibu kota
dulu. James sendiri sudah pindah kerja
ke sebuah kantor berita asing bernama Asia Associated Press, setahun sebelum
pak Sarwani pensiun.
Saat mereka
berdua mendengar teriakan sangar Bia beberapa menit lalu, dengan takut-takut
tapi penasaran mereka berdua yang tadinya duduk di ruang tamu depan, pindah ke
ruang televisi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di halaman belakang.
Pak Sarwani
yang saat ini sudah pensiun itu, langsung teringat dengan alasan utamanya
mengundang anak buah kesayangannya yang paling ganteng dan berprestasi itu.
“James. Saya
mau kamu jagain anak saya, si Bia.”bisik Pak Sarwani, seraya menelengkan kepala
dan dagunya ke arah halaman belakang, memberi isyarat menunjuk Gabia yang
sedang berdiri di sana.
“Gimana
maksudnya, Pak?”James mencondongkan tubuhnya sedikit, memastikan bahwa ia
sedang tidak salah dengar.
“Iye, si
Gabia. Tolong titip. Rencananya dia mau wawancara kerja di tempat kamu minggu
depan. Dia mau berhenti dari tempat sekarang, katanya terlalu banyak penjilat
di tempat kerjanya yang sekarang, belum ditambah pesanan berita dari
petinggi-petinggi. Sebagai orang anti KKN, saya gak meminta kamu buat lolosin
dia, karena saya sih yakin dengan kemampuan, kecerdasan dan talentanya sendiri
dia pasti lolos.”kata pak Sarwani, sedikit tinggi hati dengan kelebihan anaknya sendiri.
“Saya cuma
mau minta ke kamu untuk jagain anak perempuan saya satu-satunya itu. Kamu tau
juga kan di sini gak aman. Di kantor pun kadang suka ada bully, iri hati
dan dengki terhadap junior atau orang baru. Apalagi yang cantik kayak dia.”
“HIYYAAAAH!!!”
Kali ini Bia menghantam batu bata yang lebih besar.
“Sebelah mananya
yang kudu saya jagain ya, Pak? Saya rasa semua orang justru malah gak bakal
berani macem-macem sama anak Bapak?”James masih belum paham dengan permintaan
tidak masuk akal mantan atasannya itu. Bukankah tidak masuk akal meminta tolong
kepadanya yang sama sekali tidak bisa bela diri untuk menjaga seorang gadis
yang tampak seperti murid binaan Jet Lee atau Jean Van Damme? Bahkan kayang dan
berguling ke depan di aspal sebagai pemanasan karate saja James tidak becus.
“Ck..ck..ck.
Bukan James, maksud saya bukan jagain dia dari kejahatan orang-orang di
sekitarnya. Saya paham kok, kamu sabuk putih aja gak naik-naik.” James semakin
tidak mengerti. Lantas?
“Menjaga
orang-orang di sekitarnya dari dia. Bia itu emosional. Dia paling benci dan
bisa dengan mudah tersulut saat melihat ketidakadilan, dan terutama dengan
orang-orang yang punya otak tapi tidak menggunakannya dengan benar. Dia pernah
menghantam jidat seorang yang melanggar lalu lintas dengan jidatnya yang keras
itu, dan menyeretnya ke kantor polisi terdekat. Dia juga pernah balas dendam ke
cowok yang menyakiti dia dengan membuka aib-aib terdalamnya. Tapi sebenarnya
sikap temperamen dan pantang menyerahnya itu juga kadang bisa menjadi mata
pedang dan menyeretnya dalam bahaya besar gitu, loh, yang bikin saya deg-degan.
Dia pernah tanpa sengaja terlibat dalam pembongkaran kasus korupsi dan hampir
aja terbunuh. ”bisik Pak Sarwani.
James
bergidik.
“Sebenarnya dia
gak akan sesangar itu, kalau orang-orang di sekitarnya tidak mencari masalah.
Tapi,kamu sendiri tau, kan? Negara kita, dan di kota ini, banyak juga orang-orang
yang gak make otak. Makanya saya pengen, kamu bikin dia lebih feminin, lebih
lembut dan lebih bisa mengendalikan dirinya gitu.”
“Permisi. Ada
tamunya Bapak?” Kedua lelaki itu terkesiap. Gabia terlihat masuk ke dalam ruang
televisi, menyandang handuk di pundak, serta botol minum di tangan
kanannya.
“Eh, eu… Ini
James, Nak. Perkenalkan ini mantan anak buah Bapak, dulu.”Pak Sarwani
menepuk-nepuk punggung James, berwibawa.
“Selamat
siang Pak James. Nama saya Gabia.” Meskipun dari belakang yang terlihat
hanyalah sosok perempuan berambut berantakan, kalau dilihat dari depan dalam
jarak dekat, wajah Gabia ternyata manis, apalagi saat tersenyum. Kulitnya putih
bening, hidungnya bangir, bibirnya merah jambu alami.
“Gak usah panggil
Bapak, masih muda, kok. Panggil aja Abang. Abang James.”kata James riang, sok
akrab.
“Oke, Bang.
Gabia ke atas dulu, ya…Nggak duduk aja?”tanya Gabia yang heran melihat mereka
mengobrol serius sambil berdiri.
“Oh iya, ya. Bapak sampai lupa heu… duduk James, duduk.”
“Kita mending
balik ke ruang depan aja, deh.”kata Pak Sarwani membimbing James kembali ke
ruang tamu depan.
“Gak keliatan
sangar ya, Pak. Sopan gitu, kok. Bapak bisa aja, nih, nakut-nakutinnya.”bisik
James.
“Kalau nggak
ada apa-apa ya dia gak bakal ngamuk-lah. Dia hanya sedikit temperamen bukan
kelainan mental.”balas Pak Sarwani berbisik.
“Oh gitu,
Pak?”James mendengarkan dengan seksama.
“Emm, dulu
pernah, dulu. Sekarang udah mendingan, berkat bantuan temannya yang memang
psikiater. Ada kesalahan saya juga sih di sana. Ya pokoknya gitu-lah.”pak
Sarwani tampak enggan membahas masa lalunya lebih lanjut. Tanpa diketahui yang
bersangkutan, sesungguhnya James sudah tahu kehidupan pribadi pak Sarwani dari driver
pribadi waktu ia menumpang mobil pak Sarwani sendirian.
“Ngomong-ngomong,
kalau dia jatuh cinta sama kamu, bakal saya restuin kok. Saya malah bakal
berterima kasih, kalau kalian bisa saling jatuh cinta, menikah dan punya anak.
Ya, karena saya sendiri udah tua gitu, kan. Rasanya pengen cepet nimang-nimang
cucu gitu, sebelum mati. Kalau saya lihat-lihat, kamu tuh orang yang tepat
untuk membimbing dia ke jalan yang lebih lurus. Kalau kamu gak suka dia juga
gak apa-apa, saya gak maksa, tapi setidaknya bikin dia supaya gak jadi
preman-preman amat gitu. Kalau mau dibikin jadi ukhti-ukhti juga gak apa-apa.”lanjut
pak Sarwani jujur.
---------------------------------
Ini adalah challenge menulis bernama 'STORY BLOG TOUR', dimana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan cerita sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Jadi, jika ingin tahu kelanjutan cerita di atas sampai akhir, silakan mengikuti link blog yang ditampilkan di setiap akhir cerita yaa :)
Saya, Saa. Mendapat giliran pertama membuat cerita. Cerita ini akan dilanjutkan secara berantai oleh member grup lain yang berpartisipasi ke dalam challenge ini.
Ep 1 : Sang Psikiater |