Senin, 27 April 2020

Sang Psikiater


Hampir setahun berlalu sejak kejadian tembak-tembakan ala film Hollywood yang berlangsung di Jembatan Timah. Eliana bersama sahabatnya, Gabia, sempat terseret bahaya dalam pembongkaran kasus korupsi seorang gubernur bernama Kusuma Priyatno. Tembakan anak buah gubernur itu meninggalkan bekas luka yang tak mungkin hilang di lengannya. Eliana menyentuh lengan atasnya yang terkadang masih sedikit nyeri. Dengan adanya kasus itu, penguasa tertinggi saat ini menjadi lebih berhati-hati dan ketat dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan kasus korupsi dan tindak pidana lainnya yang melibatkan jajaran birokrat. Entahlah dengan alasan serius atau hanya sekedar akting pencitraan untuk pemilihan tahun depan, setidaknya akhir-akhir ini penguasa tertinggi negeri sedang gencar-gencarnya menggerakkan kampanye anti-korupsi.

Jam dinding di ruang praktik Eliana menunjuk pada pukul tujuh malam. Ia tengah bersiap-siap pulang setelah sesi pasien terakhirnya, seorang anak SMA yang jika curhatannya dirangkum, bisa ditarik kesimpulan bahwa penyebab depresinya adalah karena rasa cinta yang tidak bisa ia utarakan disebabkan kepribadian yang terlalu tertutup.

Hari ini adalah hari pertama Eliana membuka kliniknya kembali setelah sekian lama tutup karena dia sempat dirawat di rumah sakit dan rutin terapi fisik. Ia menukar sepatunya dengan sepatu sneaker yang jauh lebih nyaman dipakai. Ia biasa melakukannya saat jam pulang dalam rangka terapi kakinya yang cedera.

“Saya pulang ya, Mir. Kalau kamu udah selesai, langsung tutup aja, ya.”Eliana menyapa asistennya ramah.

“Baik, Bu. Ngomong-ngomong, Pak Xander sudah menunggu di depan.”kata Mirna malu-malu, membuat Eliana sedikit bingung kenapa asistennya sampai merona merah begitu. Eliana melongok ke depan untuk melihat sosok yang tampaknya sedang serius membaca majalah ekonomi di lobi klinik. Hmmm, tampaknya Eliana langsung paham. Yah, dengan wajah tampan dan fisik sempurna seperti itu pasti memang mudah sih membuat perempuan muda tersipu-sipu, meskipun ia hanya bersikap datar sekalipun.

Gak papa, kalau kamu boleh kok kalau cuma lihat aja, Mir. Soalnya hatinya kan punya aku~. Eliana senyam-senyum sendiri. Hentikan, El. Hatinya belum tentu milikmu, celetuk hati Eliana.

“Pak Xander itu tunangan bu El, ya?” Mendengar pertanyaan Mirna itu, Eliana hampir saja mengangguk cepat, tapi ia langsung melakukan manuver menjadi sebuah gelengan.

“Iy, eng, enggak, bukan. Teman saya. Teman ayah saya. Kita ada hubungan bisnis. Emm, oh iya, jangan lupa tolong kunci ruangan gudang juga, ya, kalau habis ambil sesuatu, Mir. Sampai besok.”Eliana melambaikan tangan, menyapa resepsionis lobi, kemudian berjalan menghampiri Xander. Pria yang merupakan bodyguard pribadinya, yang hidupnya dibiayai oleh ayah Eliana sejak kecil. Xander merupakan lulusan hukum, dan juga bekerja sebagai pengacara. Ia sendiri baru mengenal Xander beberapa bulan lalu, saat ia terlibat pembongkaran kasus korupsi pak Kusuma.

“Kamu ngapain hari ini juga ke sini segala? Bukannya lagi banyak kerjaan, ya?”

“Saya khawatir.” Tuh, kan. Dia membalikkan badannya sedikit untuk memalingkan wajah, berupaya menyembunyikan sunggingan senyumnya, sekaligus memastikan bahwa Mirna dan resepsionis mendengar pernyataan manis dari Xander barusan.

“Toh, ini adalah pekerjaan saya sebagai bodyg-”Eliana tersentak,

“Woh! Duluan semuanya! Sampai jumpa besok, ya!! Bubye~!”Eliana berseru riang, terburu-buru menarik paksa lengan Xander untuk keluar klinik.

“Gak usah ngomong-ngomong soal bodyguard, deh. Terlalu menarik perhatian tahu, lagian anak-anak itu bisa mikir yang macem-macem dan parno.”protes Eliana dengan suara pelan.

“Ok, sorry. Saya lupa.”

Mereka mulai berjalan berdua menuju restoran terdekat, hendak makan malam sebelum pulang dengan kendaraan umum. Pulang dengan bis umum adalah ide Eliana. Ia ingin membiasakan kakinya bisa berjalan dengan normal lagi, selain itu kejadian penculikan di mobil beberapa bulan lalu masih sangat membekas di ingatannya, sehingga membuatnya sedikit kurang nyaman saat harus duduk di mobil. Bisa dibilang itu adalah alasan resminya. Meskipun sebenarnya ia juga memiliki motif lain.
Beberapa ibu-ibu, dan wanita muda melirik Xander yang berjalan di samping Eliana, beberapa dari mereka lantas berbisik melontarkan kalimat kekaguman. Bahkan ada yang secara terang-terangan takjub memandang wajah dan badan Xander. Ini memang sudah pasti kesalahan Xander. Sudah punya wajah tampan, postur bagus, baju yang dipakai pun terlalu perlente dan serasi di badan. Mengundang cobaan bagi para wanita. Sejak beberapa bulan lalu El memang sudah sering merasakannya. Meski awalnya ragu untuk mengungkapkan pendapatnya, tapi hari ini ia sudah memutuskan untuk mengatakannya secara langsung.

“Hei. Xander.”

“Bisa gak, kamu itu ya, kalau datang ke klinik, atau jalan sama saya, gak usah tuh pakai jas atau rompi segala. Udah kayak ahjussi-ahjussi CEO atau birokrat di drama korea aja.”

“Tapi saya memang terbiasa rapi, karena sering bertemu client-client penting. Jadi ini yang saya pakai tadi di kantor”

“Ya udah copot aja, copot. Rompinya aja maksudnya, bukan semuanya. Lagian kurang pantas, soalnya kita kan mau naik bis. Itu juga dasi sepertinya lebih baik dilepas”

“Baik.”Dengan cepat Xander melepaskan rompi dan dasinya, dan menyampirkannya di tangan, kemudian ia menggulung lengan bajunya sampai siku. Wah, gak bener ini. Malah semakin ganteng.

“Gak usah, ini gak usah digulung. Ini juga dua kancing yang atas tutup. Aurat. Nanti kamu malah disangka gigolo, aku tantenya.”kata Eliana, berkelakar sambil mengedipkan mata. Xander menurut, mengancingi kemejanya dengan rapi, kemudian kembali berjalan tanpa bicara apapun.

***
Sejak kejadian beberapa bulan lalu, ayah Eliana menjadi lebih protektif. Ia meminta El untuk tinggal di rumahnya, tapi Eliana segera menolaknya. Eliana tahu akan maksud baik ayahnya. Tapi, kalau yang dimaksud sang ayah adalah masalah keamanan, ia tidak setuju. Rumah seorang idealis dari lembaga independen anti korupsi tidak mungkin bisa dikatakan aman. Selain itu ia juga merasa cukup bisa menjaga dirinya sendiri. Di luar kedua hal tersebut ia merasa belum siap tinggal bersama lagi dengan ayahnya. Ia masih merasa asing harus memperlihatkan sisi lainnya kepada orang-orang di rumah itu, meskipun mereka adalah keluarganya sendiri. Maka dari itu sebagai gantinya, sang ayah meminta Xander untuk menjaganya dengan baik.

Setelah makan malam, Xander mengantarnya sampai depan apartemen. Begitu Xander pergi, Eliana melemparkan tasnya sembarangan di atas kasur, mandi yang bersih, dan langsung mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian tergembel yang ia miliki. Ini adalah sisi lain Eliana yang tidak mungkin ia tunjukkan pada orang-orang lain. Sosoknya dengan balutan daster usang, rutinitas menonton film komedi diiringi derai tawa yang terbahak-bahak, sambil ditemani keripik kentang yang ia timbun di lemari makannya. Tak lupa berkomunikasi dan mengelus-elus perut kucingnya yang bernama Vladimir Putin. Hal-hal tersebut hanya bisa dilakukan di apartemennya dengan bebas. Mungkin yang dilakukannya ini adalah sebuah pelampiasan atas tumpukan masalah yang didengarnya di ruang pasien.

Waktu ia berusia sembilan tahun, ia pernah berusaha melindungi anak laki-laki yang disukainya, saat anak tersebut dirundung oleh anak-anak laki lain. Eliana menghabisi anak-anak nakal itu menggunakan kemampuan bela diri yang telah baru saja dipelajarinya. Namun, di luar dugaan, merasa harga dirinya terluka karena dilindungi oleh seorang anak perempuan kurus, anak lelaki yang dirundung itu menolaknya, bahkan menghina Eliana dengan sebutan tomboi. Sejak saat itu Eliana bercita-cita untuk menjalaninya hidupnya sebagai cat lady mapan yang tidak perlu bersedih hati karena cinta. Akan tetapi, bertemu dengan Xander membuatnya mulai berpikir ulang tentang cita-citanya tersebut.

Suara beratnya, postur tubuhnya yang tinggi semampai, garis wajahnya, tatapan matanya, kecerdasannya, bahkan jakunnya yang naik turun saat menelan makanan membuatnya tertarik.

PLAK! 
Eliana menampar dirinya dengan keras, marah dengan dirinya sendiri yang bisa-bisanya berpikiran mesum.

“Halah. Bisa gila.”

“Gue adalah psikiater dan gue gak butuh bantuan psikiater lainnya.” Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, meyakinkan diri.

Dipikir-pikir, bagaimana pun juga hubungan mereka tidak lebih dari sekedar bodyguard dan user. Meskipun ia hampir selalu bersama dengan Xander karena fakta tersebut, mereka tidak memiliki hubungan emosional apapun. Xander hanya bersikap sebagai seorang profesional dan bisa jadi ia tidak memiliki perasaan apapun padanya. Kesetiaan yang pernah dibahas oleh Bia menurut El hanyalah sebagai bentuk loyalitas dari seseorang yang merasa berhutang budi kepada ayahnya. Membutuhkan usaha lebih untuk menggali apa yang dipikirkan oleh orang itu. Terlebih, akhir-akhir ini ia tampak lebih pendiam dan miskin ekspresi. Meskipun El paham bahwa bodyguard-nya itu tampak sedikit murung dan tertekan, ia belum bisa memutuskan secara pasti apa yang menjadi penyebabnya.

“Bagaimana ini, Putin? Aku kok kayaknya jadi rada gila gini…”Eliana mengelus-elus leher kucing berwarna abu-abu solid itu.

Eliana mencoba mengalihkan pikirannya, menyalakan televisi dengan remot yang ada di dekatnya, kemudian mulai melipat baju-baju yang baru saja diangkatnya dari jemuran di balkon.Saluran televisi yang dipilihnya menampilkan sosok gubernur bernama Aditya Ismail, yang sempat ditemuinya sebulan lalu, saat acara pelantikan. Ia dan ayahnya sempat diundang secara pribadi oleh gubernur tersebut, setelah namanya disebut-sebut sebagai pahlawan karena berhasil melakukan tindakan patriotik dalam melindungi barang bukti serta upaya pembongkaran kasus mega korupsi. Gubernur tersebut adalah pengganti Kusuma Priyatno.

Aditya merupakan politisi yang memiliki kredibilitas tinggi, track record bersih, baru berusia tiga puluh tiga tahun, dan berkecimpung di dunia politik sejak berusia dua puluh enam tahun.
Kecepatan dan ketegasannya sebagai bupati dalam menangani pandemi dua tahun yang lalu, membuatnya mendapatkan pujian dari berbagai pihak, meskipun awalnya sempat ditentang pemerintah pusat.

Kalimatnya yang terkenal adalah,
“Mungkin akan banyak orang yang menganggap saya berlebihan atau bahkan dungu sekalipun. Akan tetapi, tidak masalah, saya yang akan bertanggung jawab. Saya tetap keluarkan status darurat, dan saya akan secara bertahap mempersiapkan keperluan warga saya, jika sewaktu-waktu lockdown diberlakukan. Sekolah untuk sementara akan kami liburkan selama empat belas hari dan dapat diperpanjang sesuai kondisi.” Blas! Kontroversi pun terjadi, yang mendukung dan yang membenci saling berteori, namun pada akhirnya keputusannya tersebut bahkan dipuji oleh gubernur provinsinya, bahkan dicontoh oleh pemerintah daerah lain dan pemerintah pusat.

Wajah khas melayu dengan garis wajah tegas dan mata tajam, fisik yang tinggi ramping, latar belakang keluarga, bahkan sampai status duda ditinggal mati pun menjadi buah bibir masyarakat. Nampaknya apa yang terdapat pada gubernur muda ini adalah magnet bagi masyarakat luas, khususnya kaum ibu-ibu. Mereka bahkan menggadang-gadangnya sebagai bibit presiden masa depan.

Mengetahui bahwa Eliana juga menyukai aktivitas wisata pada saat pertemuan bulan kemarin, gubernur itu kembali menghubunginya beberapa hari lalu, mengundang Eliana secara resmi untuk datang dalam acara peresmian Taman Air Mancur sebagai bagian dari obyek pariwisata baru awal bulan depan. Eliana tentu dengan senang hati menerima undangan tersebut.

“Should I?”Eliana tampak berpikir ragu, menimbang-nimbang sebuah rencana.

***
“HIYYAH!!” Dua bilah papan yang ditumpuk itu terbelah dihantam hanya dengan sebelah tangan. Setelah berhasil menghancurkannya, sosok wanita yang dibalut busana karate dengan sabuk hitam itu menghembuskan napas.

Kali ini ia bersiap untuk menumpuk bata-bata merah yang masih utuh, yang sudah disiapkannya sejak tadi. Setelah beberapa batu-bata itu selesai ia tumpuk dengan rapi, ia kemudian memejamkan mata sambil mengepalkan tinjunya, memusatkan seluruh konsentrasinya. Seolah segala kemampuan dan konsentrasinya dialirkan menuju kepalan tangan itu.

“HEYYAHH!!” BRAK! Tumpukan batu bata itu hancur berkeping. Gabia tersenyum bangga melihat karyanya itu. Ia merapikan poni menggangu yang menutupi sebelah matanya. Rambut sebahunya yang hitam dan lurus itu dikuncir ketat.

Sementara dua orang lelaki yang sedang berdiri di ruang televisi itu meringis secara bersamaan, sedikit membungkuk, ngilu menyaksikan Bia yang tengah berlatih karate di halaman belakang.  Ruang tengah dan halaman belakang itu dibatasi dengan kaca dan pintu transparan sebagai pengganti dinding. Pria setengah baya yang satunya adalah ayah dari Gabia, bapak Sarwani. Sementara pria yang satunya lagi bernama James Wijaya, lajang berusia tiga puluh tahun, berperawakan tinggi, rahang tegas dan kulit yang kuning langsat. Ia adalah mantan anak buah pak Sarwani, saat pak Sarwani masih menjabat sebagai presiden direktur surat kabar berbahasa inggris di ibu kota dulu.  James sendiri sudah pindah kerja ke sebuah kantor berita asing bernama Asia Associated Press, setahun sebelum pak Sarwani pensiun.

Saat mereka berdua mendengar teriakan sangar Bia beberapa menit lalu, dengan takut-takut tapi penasaran mereka berdua yang tadinya duduk di ruang tamu depan, pindah ke ruang televisi untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di halaman belakang.
Pak Sarwani yang saat ini sudah pensiun itu, langsung teringat dengan alasan utamanya mengundang anak buah kesayangannya yang paling ganteng dan berprestasi itu.

“James. Saya mau kamu jagain anak saya, si Bia.”bisik Pak Sarwani, seraya menelengkan kepala dan dagunya ke arah halaman belakang, memberi isyarat menunjuk Gabia yang sedang berdiri di sana.

“Gimana maksudnya, Pak?”James mencondongkan tubuhnya sedikit, memastikan bahwa ia sedang tidak salah dengar.

“Iye, si Gabia. Tolong titip. Rencananya dia mau wawancara kerja di tempat kamu minggu depan. Dia mau berhenti dari tempat sekarang, katanya terlalu banyak penjilat di tempat kerjanya yang sekarang, belum ditambah pesanan berita dari petinggi-petinggi. Sebagai orang anti KKN, saya gak meminta kamu buat lolosin dia, karena saya sih yakin dengan kemampuan, kecerdasan dan talentanya sendiri dia pasti lolos.”kata pak Sarwani, sedikit tinggi hati dengan kelebihan anaknya sendiri.

“Saya cuma mau minta ke kamu untuk jagain anak perempuan saya satu-satunya itu. Kamu tau juga kan di sini gak aman. Di kantor pun kadang suka ada bully, iri hati dan dengki terhadap junior atau orang baru. Apalagi yang cantik kayak dia.”

“HIYYAAAAH!!!” Kali ini Bia menghantam batu bata yang lebih besar.

“Sebelah mananya yang kudu saya jagain ya, Pak? Saya rasa semua orang justru malah gak bakal berani macem-macem sama anak Bapak?”James masih belum paham dengan permintaan tidak masuk akal mantan atasannya itu. Bukankah tidak masuk akal meminta tolong kepadanya yang sama sekali tidak bisa bela diri untuk menjaga seorang gadis yang tampak seperti murid binaan Jet Lee atau Jean Van Damme? Bahkan kayang dan berguling ke depan di aspal sebagai pemanasan karate saja James tidak becus.

“Ck..ck..ck. Bukan James, maksud saya bukan jagain dia dari kejahatan orang-orang di sekitarnya. Saya paham kok, kamu sabuk putih aja gak naik-naik.” James semakin tidak mengerti. Lantas?

“Menjaga orang-orang di sekitarnya dari dia. Bia itu emosional. Dia paling benci dan bisa dengan mudah tersulut saat melihat ketidakadilan, dan terutama dengan orang-orang yang punya otak tapi tidak menggunakannya dengan benar. Dia pernah menghantam jidat seorang yang melanggar lalu lintas dengan jidatnya yang keras itu, dan menyeretnya ke kantor polisi terdekat. Dia juga pernah balas dendam ke cowok yang menyakiti dia dengan membuka aib-aib terdalamnya. Tapi sebenarnya sikap temperamen dan pantang menyerahnya itu juga kadang bisa menjadi mata pedang dan menyeretnya dalam bahaya besar gitu, loh, yang bikin saya deg-degan. Dia pernah tanpa sengaja terlibat dalam pembongkaran kasus korupsi dan hampir aja terbunuh. ”bisik Pak Sarwani.
James bergidik.

“Sebenarnya dia gak akan sesangar itu, kalau orang-orang di sekitarnya tidak mencari masalah. Tapi,kamu sendiri tau, kan? Negara kita, dan di kota ini, banyak juga orang-orang yang gak make otak. Makanya saya pengen, kamu bikin dia lebih feminin, lebih lembut dan lebih bisa mengendalikan dirinya gitu.”

“Permisi. Ada tamunya Bapak?” Kedua lelaki itu terkesiap. Gabia terlihat masuk ke dalam ruang televisi, menyandang handuk di pundak, serta botol minum di tangan kanannya. 

“Eh, eu… Ini James, Nak. Perkenalkan ini mantan anak buah Bapak, dulu.”Pak Sarwani menepuk-nepuk punggung James, berwibawa.

“Selamat siang Pak James. Nama saya Gabia.” Meskipun dari belakang yang terlihat hanyalah sosok perempuan berambut berantakan, kalau dilihat dari depan dalam jarak dekat, wajah Gabia ternyata manis, apalagi saat tersenyum. Kulitnya putih bening, hidungnya bangir, bibirnya merah jambu alami.

“Gak usah panggil Bapak, masih muda, kok. Panggil aja Abang. Abang James.”kata James riang, sok akrab.

“Oke, Bang. Gabia ke atas dulu, ya…Nggak duduk aja?”tanya Gabia yang heran melihat mereka mengobrol serius sambil berdiri.

“Oh iya, ya.  Bapak sampai lupa heu… duduk James, duduk.”

“Kita mending balik ke ruang depan aja, deh.”kata Pak Sarwani membimbing James kembali ke ruang tamu depan.

“Gak keliatan sangar ya, Pak. Sopan gitu, kok. Bapak bisa aja, nih, nakut-nakutinnya.”bisik James.

“Kalau nggak ada apa-apa ya dia gak bakal ngamuk-lah. Dia hanya sedikit temperamen bukan kelainan mental.”balas Pak Sarwani berbisik.

“Oh gitu, Pak?”James mendengarkan dengan seksama.

“Emm, dulu pernah, dulu. Sekarang udah mendingan, berkat bantuan temannya yang memang psikiater. Ada kesalahan saya juga sih di sana. Ya pokoknya gitu-lah.”pak Sarwani tampak enggan membahas masa lalunya lebih lanjut. Tanpa diketahui yang bersangkutan, sesungguhnya James sudah tahu kehidupan pribadi pak Sarwani dari driver pribadi waktu ia menumpang mobil pak Sarwani sendirian.


“Ngomong-ngomong, kalau dia jatuh cinta sama kamu, bakal saya restuin kok. Saya malah bakal berterima kasih, kalau kalian bisa saling jatuh cinta, menikah dan punya anak. Ya, karena saya sendiri udah tua gitu, kan. Rasanya pengen cepet nimang-nimang cucu gitu, sebelum mati. Kalau saya lihat-lihat, kamu tuh orang yang tepat untuk membimbing dia ke jalan yang lebih lurus. Kalau kamu gak suka dia juga gak apa-apa, saya gak maksa, tapi setidaknya bikin dia supaya gak jadi preman-preman amat gitu. Kalau mau dibikin jadi ukhti-ukhti juga gak apa-apa.”lanjut pak Sarwani jujur.


---------------------------------

Ini adalah challenge menulis bernama 'STORY BLOG TOUR', dimana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan cerita sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Jadi, jika ingin tahu kelanjutan cerita di atas sampai akhir, silakan mengikuti link blog yang ditampilkan di setiap akhir cerita yaa :)

Saya, Saa. Mendapat giliran pertama membuat cerita. Cerita ini akan dilanjutkan secara berantai oleh member grup lain yang berpartisipasi ke dalam challenge ini.

Ep 1 : Sang Psikiater  |

Rabu, 22 April 2020

[Master Post] LOST ISLAND

Akhirnyaaaaa....

Setelah lama direncanakan, jadi juga nulis keroyokan buat ngelepas stress karena kerjaan :') Blog ini memang khusus dibuat sebagai sarana penyaluran khayalan kami yang kadang bisa sampai tumpah saking penuhnya di otak. Menurut kata pepatah, daripada dibuang sayang, lebih baik dimanfaatkan. Sukur sukur ada yang baca, hahahaha. Gak ada yang baca pun setidaknya stress kami bisa hilang, raib ditelan khayalan yang tertuang.

Kisah khayalan kami yang pertama berjudul "LOST ISLAND", yang menceritakan tentang enam orang yang terdampar di pulau tak berpenghuni. Enam orang ini berusaha bertahan hidup hingga ada kapal penyelamat yang datang, atau keajaiban (kali aja ada malaikat baik yang bawain makanan...eh, nunjukin mereka jalan keluar atau gimana, gitu).



Cerita ini akan update tiap dua hari sekali (semoga). Dan semoga cerita ini bisa membawa pembacanya ikut bertualang bersama enam orang absurd ini :)

Selamat membacaaaaa~

LOST ISLAND


PART 1: THE SINKING SHIP
PART 2: ARGA, THE JUNGLE BOY
PART 3:


Sabtu, 18 April 2020

[Story Blog Tour] The One Who's Watching From Far

Ya Allah. Kutahu, kutahu, bahwa ini garing. Ibarat kata gue kayak mendengar ada jangkrik yang bunyi di sekitar gue gitu ya. Mohon maaf, karena esok ku harus kerja bagai quda untuk mengerjakan terjemahan buat senin pagi, sehingga gue kudu ngebut ngerjain ini, untuk menyelsaikan tanggung jawab SBT gue lol. Ya gitulah pokonya cekidot.

----------------------------------------------------------------------
Aku menyingkap lengan jasku untuk melihat jam. Jam enam sore, seharusnya satu jam lagi aku pulang, tapi sepertinya jika anak ini sudah datang, aku akan ditahan lebih lama untuk bicara. Aku menyiapkan diri untuk mendengar keluh kesahnya.

Seseorang membuka pintu ruang praktikku. Aku mendongak untuk melihat seseorang yang sangat kukenal masuk ke ruanganku. Anak pembuat masalah ini. Sekarang dia mau balas dendam untuk siapa lagi? Aku sebetulnya telah terbiasa terlibat dengan masalah-masalah pribadinya, maupun menyaksikannya mengeksekusi sesuatu untuk memuaskan tantrumnya. Namun, setelah harus menyaksikan ‘kenakalannya’ minggu lalu yang melibatkan dan melukai cukup banyak pihak, aku mulai merasa sedikit jengah, meskipun sekaligus merasa khawatir.  

Memang, mungkin seperti yang ia bilang bahwa ‘aksinya’ minggu lalu bisa menyelamatkan pihak mempelai perempuan. Meskipun begitu, menurutku tindakan yang dilakukannya itu sudah terlalu jauh dan ikut campur. Sepertinya semakin lama ia semakin kehilangan kendali. Aku tahu masa lalunya, dan bagaimana ia melewati masa-masa sulitnya. Sejak ia melewati masa sulit itu, ia cukup stabil, dan terlihat semakin kuat, meskipun di saat-saat tertentu ia meledak. Namun, akhir-akhir ini aku merasa semakin khawatir. Namun, entahlah siapa yang lebih kukhawatirkan. Dirinya? Atau diriku sendiri? Aku mulai tidak yakin.

“Apa ini?”tanyaku tidak mengerti setelah ia mengatakan dengan singkat tentang benda berbahaya yang ada di tangannya. Awalnya kupikir itu adalah pen gun, senjata api kaliber kecil yang berbentuk seperti pena, yang biasa ditemukan di situs-situs ilegal penjual barang berbahaya. Pada saat ini sebetulnya di beberapa negara yang tidak memiliki undang-undang kepemilikan senjata api, benda tersebut bisa didapatkan dengan lebih mudah, bahkan secara online, misalnya seperti Amerika Serikat.

Tapi, bahkan setelah kulihat sepertinya benda ini tidak seberbahaya itu. Maksudku, benda ini benar-benar hanya terlihat seperti USB dengan bentuk yang sedikit unik dari biasanya. Bukankah itu tampak seperti benda penyimpan data yang biasa dijual di toko-toko elektronik di pasaran? Hasil dari kreatifitas produsen benda elektronik China, atau mungkin negara lainnya? Apa yang membuatnya istimewa? Mengapa ia menyebutnya sebagai benda berbahaya?

Aku memegang benda tersebut dengan rasa penasaran yang sedikit tersulut.

“Lo beneran sama sekali tidak ingat bagaimana USB ini masuk ke dalam tas lo sendiri? Atau justru lo mungkin malah menerimanya dari seorang teman? Dan lupa memasukkannya?”tanyaku, mengangkat alis, sedikit skeptis. Memang pertanyaanku sedikit janggal. Tapi, Bia memang seringkali melupakan sesuatu. Raut wajahnya tampak sedikit tersinggung.

“Hei! El. Memang akhir-akhir ini gue agak pelupa. Tapi apa nggak keterlaluan udah menganggap gue se-amnesia itu, seolah-olah gue sampai melupakan hal sepenting itu?”katanya kesal.

“Yah, mungkin saja lo mabuk, kan? Kalau gitu, emang apa isi USB itu?”

“Aku awalnya hanya merasa penasaran karena tidak merasa berurusan dengan siapapun yang memungkinkan benda tersebut masuk ke tasku. Jadi, aku mencoba memeriksanya di laptop. Namun, setelah mengecek isinya, sepertinya ini bukanlah sesuatu yang main-main.” Bia menggantung kalimatnya, tampak sedikit ragu.

“Ada beberapa file dalam USB tersebut. Meskipun gue nggak begitu yakin dan paham apa isinya. Yang jelas itu sepertinya merupakan dokumen keuangan perusahaan, karena terdapat sejumlah angka yang sangat besar, jumlahnya sampai milyaran. Lalu di dalamnya juga terdapat rekaman suara, seperti sadapan telepon? Atau mungkin rekaman langsung. Gue sendiri gak paham, bagaimana mereka bisa dapat rekaman suara tersebut.” Aku mengerutkan kening mendengarkan informasi tidak lengkap itu, menuntutnya untuk menjelaskan lebih lanjut.

“Lo ingat dengan cerita gue tentang sialan yang tukang tipu itu? Si Tirta. Gue bahkan baru aja dapat fakta lain, bahwa ternyata dia memang tukang ngelakuin penggelembungan klaim asuransi. Dia yang licin melakukan penipuan memang belum sempat tertangkap. Mempelai wanitanya itu pun kaya, dan salah satu targetnya. Tapi kasusnya sedikit beda. Gue sempat cerita ke lo tempo hari, bahwa Masahiro menemukan chat dia yang tentang asuransi dan pernikahan itu. Gue rasa dia mau memanfaatkan asuransi jiwa istrinya, dan bisa aja di masa depan dia berbuat nekat mencelakai istrinya tersebut demi uang asuransi jiwa yang jumlahnya gak main-main. Meskipun gak tahu juga itu bakal berhasil apa nggak. Yang jelas cowok picik itu punya rencana yang gak baik. Tapi untuk kali ini gue benar-benar nggak nyangka, dia nekat berbuat sejauh ini.” 

Mendengar nama itu kembali disebut, aku jadi ingat wajah marah campur malu si pengantin wanita yang malang itu. Mau tak mau, itu juga mengingatkanku dengan wajah Tirta yang naas di hari itu, dan membuat rasa penasaranku muncul terkait nasib Tirta setelahnya. Tapi, untuk saat ini ada hal yang lebih penting daripada itu. Sepertinya penjelasan dari Bia belum menjawab pertanyaanku secara keseluruhan. Apa maksudnya semua itu?

Ia mengangguk seperti paham akan rasa penasaranku. Kemudian, ia merendahkan suaranya, seakan ada orang lain di dalam ruangan kerjaku.

“Lo mungkin belum paham cerita gue mengarah ke mana. Biar gue jelasin. Gue bahkan gak begitu yakin sebenarnya dengan hal ini. Gue rasa, jika mendengar isi percakapannya, orang yang ada di dalam rekaman tersebut gue duga adalah suara Tirta dan seorang pejabat pemerintahan.” Ia menghela napas, kemudian melanjutkan, semakin merendahkan suaranya.

“Sepertinya Tirta terlibat suap dengan salah satu pejabat pemerintahan. Dia sempat menyebut lawan bicaranya itu “Pak Indra”.

”Hah!!?” Sepotong kalimat itu membuatku terkejut setengah mati. Lantas kenapa bukti-bukti tersebut bisa berada di dalam tas Bia yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini? Siapa yang melakukannya? Dan bagaimana mungkin? Bukankah itu adalah hal yang sama sekali tidak masuk akal? Aku sedikit terhuyung. Ini adalah sesuatu yang sangat serius? Apa yang harus kami lakukan?

“Gue gak tahu Pak Indra itu tepatnya orang bagian kementerian apa. Yang jelas kayaknya pejabat cukup penting, sebab, kayaknya ada hubungannya dengan proyek pembangunan komplek perumahan dan sarana pra sarana sekitarnya, seperti jalan umum.”Aku menangkap apa yang barusan dikatakan oleh Bia, namun sudah tidak terlalu berkonsentrasi lagi mendengarnya. Tiba-tiba saja kepalaku penuh.

“Gue datang ke sini untuk meminta saran dari lo. Apa yang harus gue lakuin selanjutnya menurut lo? Gue udah mempertimbangkan beberapa hal, namun belum yakin dan memikirkan beberapa akibatnya.”

“Lo nanya ke gue? Gue sendiri bahkan belum selesai mencerna cerita barusan.”jawabku gusar.

“Ayolah, El! Selama ini cuma lo teman gue yang paling bijaksana.”

“Kenapa lo gak minta tolong aja ke Masahiro?” Aku minggu lalu sebenarnya sempat bertanya-tanya, mau-maunya cowok tolol bernama Masahiro itu meladeni tantrum Bia dan mengeksekusi rencananya. Dan aku pun dengan bodohnya membatalkan janji dengan seorang pasien, hanya demi menemani seorang teman yang ingin memuaskan amarahnya.

“Gue sebenarnya juga berpikir seperti itu kemarin. Tapi gue memutuskan untuk cerita ke lo dulu.” Lantas, sekarang kenapa pula aku yang jadi harus ikut memikirkan hal yang memusingkan seperti ini. 

Aku memijat keningku dan menghela napas, menenangkan diri. Bagaimana pun juga Bia adalah temanku. Dan kali ini bukan salahnya. Ya, selalu. Aku selalu berusaha membelanya dan mencari kebaikan dari Bia. Anak ini juga sebenarnya telah cukup banyak membantuku.

“Oke. Sori. Kita pikirin solusinya bareng-bareng.” Bia menyeringai.

“Lo kapan sadar bahwa USB itu ada di tas lo?”

“Kemarin pagi, saat gue mengeluarkan semua barang-barang untuk ganti tas. Jujur gue gak pernah ngecek isi tes gue. Gue hanya mengambil yang gue butuhkan, dan yang paling sering ya hape dan dompet. Hape gue taro di resleting luar. Dompet di resleting dalam. Sementara pulpen USB itu ada di dasar tas.” jelasnya.

“Gue sempat memikirkan ingin menghubungi kepolisian. Tapi, lo tau kan, gue gak pernah percaya institusi kepolisian. Makanya gue tahan dulu.”ujar Bia.

“Jangan dulu. Yah, kita gak tau kasus ini mengarah kemana, dan melibatkan siapa saja. Kalau nanti kita kenapa-kenapa bisa gawat. Kenapa gak ke lembaga independen yang memang mengurus masalah korupsi aja langsung? Well, meski mungkin ada resikonya.”kataku, mengangkat bahu.

“Ya gue juga sempat berpikir begitu. Tapi gue agak khawatir. Sebenarnya malas harus berurusan dengan hal kayak gini. Pasti kan ditanya macam-macam, dicurigai macam-macam, dijadikan saksi juga mungkin? Entah gue belum cari tau prosedurnya seperti apa. Tapi gue gak mungkin juga melenyapkan bukti kejahatan musuh gue sendiri. Gue sempat tergoda berpikir untuk hack­­ sosmednya dia dan memutar rekaman ini.”Ia mengucapkannya dengan cengengesan riang. Aku memutar bola mata. Dendam kesumatnya belum ada habisnya rupanya. Benci atau marah boleh, tapi tetap harus waras. Hal seperti itu hanya akan membuat penyidikan berantakan dan justru lebih berisiko. Lagipula belum terbukti bahwa data-data ini asli. Meski cerdas, kadang Bia kekanakkan dan dikendalikan napsu.

“Gue tau, gue tau. Gue gak sebego dan ceroboh itu. Sempat kepikiran aja. Yang membuat gue penasaran, siapa yang meletakkannya di dalam tas gue.” Aku termenung. Tapi memutuskan untuk memikirkannya nanti.

“Kalo gitu lo bisa telepon ke call center mereka. Dan seharusnya sih secara logika kita bisa meminta semua identitas kita untuk dilindungi.”balasku, meski tidak menjadi jawaban atas pertanyaannya.

“Gue telepon besok. Gue rasa, malam ini gue perlu menyiapkan mental untuk melaporkan hal sebesar ini.” Terdapat guratan kekhawatiran di wajahnya. 

***
Jantungku berdegup kencang ketika tidak sengaja menemukan berita mencengangkan di sebuah portal berita online, tengah malam ini.  Aku tidak tahu kebetulan macam apa ini. Berita tersebut ditulis hari ini, pukul lima sore. Seorang pria bernama Tirta Purnama, ditemukan tewas di kos-kosan yang terbilang mewah di Jakarta. Belum diketahui secara pasti motif pembunuhan pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai agen asuransi di perusahaan asing ini.

Aku tidak yakin, ini kabar baik atau kabar buruk bagi Bia. Maksudku mungkin kematian Tirta adalah salah satu yang sempat diharapkan Bia, tapi jika ini juga berhubungan dengan nyawa Bia juga, mungkin akan jadi beda cerita. Bisa saja pembunuhan ini ada hubungannya dengan informasi yang tadi diberikan oleh Bia. Meskipun tetap ada kemungkinan lain. Apa hanya kebetulan saja timing-nya pas? Aku tidak bisa menemukan dengan pasti kemungkinan atau akar masalah ini. 

Tapi siapa? Siapa yang berusaha melibatkan Bia dengan memasukkan USB tersebut ke dalam tasnya? Dan kenapa? Dimana? Apakah di acara pernikahan itu? Apakah pengantin wanita tersebut ada hubungannya? Tirta memiliki banyak musuh sepertinya. Apakah salah satu diantara wanita tersebut? 

Aku menyambar telepon genggam, tapi sedetik kemudian sedikit ragu, tiba-tiba tidak tahu harus bagaimana. Aku menyentuh bulu kudukku yang meremang. Bagaimana pun, Bia sempat dekat dan terlibat dengan Tirta. Aku takut jika pembunuh itu bukan hanya mengincar Tirta, namun juga Bia. Aku berharap hal ini tidak akan menyeret Bia untuk sesuatu yang lebih berbahaya. Tidak. Kami telah terlibat. Jika ini ada hubungannya dengan semua bukti di USB tersebut.

Dan bagaimana denganku yang selalu berada di sekitar Bia? Apakah aku pun juga akan menjadi sasarannya? Apakah ada yang menyadap pembicaraan kami di klinik tadi? Tiba-tiba semuanya jadi terasa menakutkan. Sebuah panggilan masuk ke ponselku. Karena terkejut, ponsel itu hampir saja lepas dari genggamanku.

Bia? Apakah dia juga sudah tahu? Aku menggigit bibir cemas. Aku punya firasat buruk tentang ini.

***



Ini adalah challenge menulis bernama 'STORY BLOG TOUR', dimana member lain yang sudah diberi urutan melanjutkan cerita sesuai imajinasinya di blog pribadinya. Jadi, jika ingin tahu kelanjutan cerita di atas sampai akhir, silakan mengikuti link blog yang ditampilkan di setiap akhir cerita yaa :)

Gue, Saa. Mendapatkan giliran kedua membuat cerita. Cerita ini akan dilanjutkan secara berantai oleh member grup lain yang berpartisipasi ke dalam challenge ini.

Ep 1 : Capable of Destroying Anything |
Ep 2 : The One Who's Watching From Far
Ep 3 : still on progress
Ep 4 : still on progress
Ep 5 : still on progress
Ep 6 : still on progress

Jumat, 22 April 2016

LOST ISLAND : PART 2 - ARGA, THE JUNGLE BOY

PART 2 - ARGA, THE JUNGLE BOY



LOST ISLAND: PART 1 - THE SINKING SHIP

Judul: LOST ISLAND
Genre: Humour, Fantasy, Mistery, Friendship, Family, Romance --> dah semua genre aja diborong


PART 1 - THE SINKING SHIP


Perahu karet penyelamat berwarna oranye itu terombang-ambing di atas lautan tanpa ujung. Air muka lima orang yang kini di atas perahu itu bermacam-macam. Namun, sebagian besar memasang wajah cemas, takut, pasrah, dan putus asa. Tak ada yang pernah menyangka kalau kapal laut yang mereka tumpangi akan berakhir di dasar laut.

Seorang gadis muda terus menangis menyadari hanya lima orang—termasuk dirinya—yang dapat selamat dari kecelakaan kapal laut yang mereka alami beberapa saat lalu. Meski demikian, tak ada satupun dari empat orang lainnya yang berusaha menghentikan tangisan gadis itu. Seorang nenek yang duduk di ujung perahu hanya memandang langit dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia diselamatkan oleh seorang pemuda berambut pendek—yang juga ada di atas kapal tersebut--meski ia sudah pasrah menerima nasib saat kapal mulai tenggelam. Pemuda yang menyelamatkan nenek itu berusaha menghentikan tangis si gadis

dengan menenangkannya. Namun karena dia sendiri masih dalam keadaan panik, tangisan si gadis malah bertambah kencang. Satu orang laki-laki yang tersisa tidak mengeluarkan komentar maupun ekspresi apa pun. Ia terus mendayung perahu tersebut—entah ke arah mana—sambil sesekali berhenti untuk istirahat sebelum melanjutkan kegiatan monotonnya itu.

"Bisa berhenti nangis nggak, sih? Nangis nggak bakal nyelesain apa-apa. Cuma bikin kuping orang lain sakit," sindir seorang gadis kecil yang sejak tadi memandang perempuan yang jauh lebih tua darinya itu tak henti-hentinya menangis.

Tangisnya pun perlahan terhenti. Masih ada sengukan pelan yang tersisa, namun kali ini tak ada lagi air mata yang keluar. "Iya! Nggak usah judes gitu..."

Si gadis kecil mendengus sebal. Sang pemuda yang sejak tadi salah tingkah, kini bisa bernapas lega karena akhirnya tak ada lagi tangisan yang terdengar. Namun kali ini suasananya menjadi sedikit tegang. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk mencairkan suasanya.

"Eh, kita belum tahu nama masing-masing. Aku Arga Winarkia. Panggil aja Arga," ujarnya sambil tersenyum.

Arga mengulurkan tangannya, berharap ada satu orang yang menyambutnya. Namun, setelah beberapa detik tangannya menggantung di udara, Arga akhirnya menjabat tangannya sendiri dan menurunkan tangannya.

"Namaku Reisya..." jawab gadis yang sejak tadi menangis, dengan suara lirih.

"Luna." Si gadis kecil menanggapi dengan jawaban singkat.

Hanya nenek tua di ujung perahu yang tidak menanggapi Arga. Sementara satu lelaki lainnya tidak menjawab karena dia sudah berhenti mendayung dan tidur nyenyak.

___

"Daripada bengong, kita main sambung kata aja, yuk!" ajak Arga dengan antusiasme yang agak berlebihan.

Seperti sebelumnya, Luna menanggapinya dengan dingin. "Mainan bocah..."

Salah satu alis Arga terangkat. 'Kamu kan masih bocah!' katanya dalam hati, kesal.


"Nggak apa-apa, dong. Daripada nggak ngapa-ngapain, kan? Aku mulai duluan, ya. PALU!"

Reisya melirik Luna sejenak sebelum melihat Arga kembali. Pemuda itu sejak tadi berusaha keras untuk mencairkan suasana. Meski canggung, suka berekspresi berlebihan, dan mengeluarkan ajakan main tidak pada tempatnya, Reisya merasa tidak enak jika ia tidak menyambut kebaikan hati pemuda itu.

"Lu...luka?" jawab Reisya tidak yakin.

"KAPAS!" sambut Arga dengan segera.

Permainan berlanjut meski hanya ada dua orang partisipan.

"Pas...ti..."

"TISU!"

"Sumo..."

"MODE!"

"Deg-degan."

"Gan...gan...Hmm...GANTENG! Hahahaha, pas banget!" ucap Arga bangga. Luna mendecih.

"Teng...tengge...tenggelaaamm...Huwaaaa...Kapalnya tenggelaaaamm...huhuhu..." Reisya kembali teringat tragedi barusan dan menangis tak henti-henti.

Arga kembali salah tingkah karena usahanya gagal total.

Luna mendesah panjang. "Udah tenggelam, mau diapain lagi? Daripada nangis terus, mending pikirin gimana caranya kita berlima bisa selamat," katanya dengan nada rendah, namun terdengar ketus dan dingin.

Reisya menghentikan tangisnya. Meski dalam hati masih merasa sangat kalut, ia sebal harus diomeli oleh anak kecil seperti Luna.

Ketegangan di atas perahu kian terasa. Akan tetapi, satu laki-laki yang sejak tadi tidur dan sama sekali tidak merasakan ketegangan itu, kini membuka matanya. Ia mengangkat punggung besarnya dengan malas dan langsung melihat sekeliling tanpa minat.

"Ah...ada pulau..." kata laki-laki itu yang lebih terdengar seperti igauan.

"Jangan ngarang deh, Om," tegur Luna.

"Tapi bener-bener ada—"

"PULAAAAAAAAAAAUUUU!!!" Arga berteriak senang hingga mampu memekakkan telinga empat orang lainnya.

___


"Tenang aja, selama ada tumbuhan dan hewan, kita nggak akan mati kelaparan di pulau ini." Perkataan Arga begitu penuh percaya diri.

Mereka berlima telah mendarat di pulau yang tak sengaja mereka temukan. Melihat hutan yang begitu lebat membentang di sepanjang batas pasir pantai, membuat mereka berpikir ini adalah pulau tak berpenghuni. Atau setidaknya tidak dihuni oleh manusia modern. Mungkin di dalam hutan sana ada suku kuno yang masih bertahan dengan berburu binatang dan minum air sungai. Siapa tahu?

Tak mungkin hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa, mereka pun mulai membagi tugas untuk bertahan hidup setidaknya hingga esok hari. Luna dan Nenek yang minta dipanggil dengan Nek Darsih bertugas mengumpulkan dahan pohon kelapa kering untuk kemudian diserahkan pada Reysa yang mulai membangun tenda mungil sesuai arahan Arga. Arga sendiri masuk-keluar hutan mencari tumbuhan dan buah-buahan yang bisa dimakan. Ia juga mengambil kayu yang cukup kuat dan langsung membuat tombak tajam dengan pisau lipat yang selalu ia bawa. Tombak itu ia gunakan untuk menusuk ikan-ikan yang berenang di area pantai. Sementara, laki-laki yang mengaku bernama Catur, masuk ke dalam hutan untuk mencari sumber air. Namun hingga detik ini ia belum kembali.

Saat semuanya sedang sibuk, terdengarlah suara cipakan air dari arah pantai. Arga yang memang sedang berada di pantai, langsung menoleh ke sumber suara. Seorang gadis muda memakai kemeja putih ala pegawai kantoran sedang berusaha menepi ke pantai dengan mengayun-ayunkan kedua tangan dan kakinya. Namun tampaknya ia sedikit kerepotan karena pelampung bebek berwarna kuning cerah yang dipakainya justru menghambat pergerakan tangannya.

Arga yang bengong selama beberapa detik saat melihat pemandangan itu, akhirnya mencoba kembali ke dunia nyata dengan berbalik badan dan memfokuskan dirinya menangkap ikan.

"WOOI! LIAT CEWEK CANTIK LAGI KESUSAHAN MBOK YA DITOLONGIN DULU!" teriak cewek pelampung bebek itu.

Arga terperanjat. Ternyata yang dilihatnya barusan bukan mimpi. Bukan putri duyung yang ingin naik ke darat dengan mengandalkan pelampung bebek, dia benar-benar manusia. Manusia yang aneh.

___

“Jadi, kamu juga selamat dari kapal Royal Cruises?” Arga memastikan asal-usul wanita yang mengaku bernama Aulia Malikha itu.

“Iyaaa! Udah dibilang berkali-kali! Kamu kira aku pakai pelampung bebek gitu lagi latihan berenang di laut!?” seru Aulia, atau yang lebih senang dipanggil Owi, dengan kesal.

“Abisnya… kenapa harus bebek?”

“Adanya cuma itu…” Aulia menggembungkan pipinya.

Sementara mereka mengobrol, Luna keluar dari balik pohon-pohon yang sangat lebat. Tangan mungilnya menarik ujung kemeja Catur. Ia berjalan menuju Arga dengan langkah cepat. Sementara Catur yang berbadan dua kali lebih besar dari dirinya justru kepayahan mengikuti langkah cepat Luna. Dahinya berkerut dan kedua matanya menyiratkan ketidaksukaan.

“Om ini disuruh cari air malah tidur di pinggir sungai,” lapor Luna pada Arga.

Perhatian Arga sepenuhnya teralihkan pada Luna dan Catur. “Oh, jadi ada sungai dekat sini?” Senyum Arga pun merekah.

Mendengar respon Arga, Luna mengerutkan kedua alisnya. Fokus cowok itu benar-benar berbeda dengan orang normal. ‘Yah, tapi setidaknya dia berpikiran sangat positif’, pikir Luna. ‘Meskipun mengesalkan, sih!’ tambahnya lagi.

___

“Baiklah teman-teman. Persediaan makanan dan minuman kita untuk hari ini sudah cukup. Aku juga sudah membuatkan kemah sederhana dari batang pohon kelapa.” Arga menunjuk dua kemah kecil yang berada tak jauh dari tempat mereka beristirahat.

Kemah itu berada di bawah pohon yang tidak terlalu tinggi, dan memiliki dedaunan yang cukup lebat. Sehingga, meskipun kemah daun kelapa buatan Arga tidak terlalu kuat, setidaknya mereka bisa terlindung dari terik matahari ataupun tetesan air hujan.

Selain memberitahu informasi tentang kemah sementara mereka, Arga juga menjelaskan panjang lebar mengenai apa saja yang harus mereka perhatikan saat berada di alam liar seperti sekarang. Arga menjelaskan semuanya dengan mata berbinar, seolah hidup lima orang lainnya tergantung pada dirinya. Padahal, Luna sudah tahu sebagian bersar ilmu tersebut—hingga akhirnya ia mendengarkan tanpa minat. Nek Darsih justru memandang Arga dengan tatapan marah—entah apa alasan di baliknya. Reisya dan Aulia mendengarkan sambil bengong. Sementara Catur sudah terlelap sejak tadi.

Setelah kuliah tujuh menit yang terasa seperti tujuh abad bagi lima orang selain Arga, mereka akhirnya memutuskan untuk makan buah-buahan yang mereka temukan dari dalam hutan. Matahari sudah mulai terbenam di ufuk timur dan penerangan alami mulai berkurang. Keheningan menyelimuti kegiatan makan mereka. Hingga seseorang membuka obrolan mengenai tenggelamnya kapal pesiar yang mereka naiki…


BERSAMBUNG