PART 2 - ARGA, THE JUNGLE BOY
Jumat, 22 April 2016
LOST ISLAND: PART 1 - THE SINKING SHIP
Judul: LOST ISLAND
Genre: Humour, Fantasy, Mistery, Friendship, Family, Romance --> dah semua genre aja diborong
Perahu karet penyelamat berwarna oranye itu terombang-ambing di atas lautan tanpa ujung. Air muka lima orang yang kini di atas perahu itu bermacam-macam. Namun, sebagian besar memasang wajah cemas, takut, pasrah, dan putus asa. Tak ada yang pernah menyangka kalau kapal laut yang mereka tumpangi akan berakhir di dasar laut.
Seorang gadis muda terus menangis menyadari hanya lima orang—termasuk dirinya—yang dapat selamat dari kecelakaan kapal laut yang mereka alami beberapa saat lalu. Meski demikian, tak ada satupun dari empat orang lainnya yang berusaha menghentikan tangisan gadis itu. Seorang nenek yang duduk di ujung perahu hanya memandang langit dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia diselamatkan oleh seorang pemuda berambut pendek—yang juga ada di atas kapal tersebut--meski ia sudah pasrah menerima nasib saat kapal mulai tenggelam. Pemuda yang menyelamatkan nenek itu berusaha menghentikan tangis si gadis
dengan menenangkannya. Namun karena dia sendiri masih dalam keadaan panik, tangisan si gadis malah bertambah kencang. Satu orang laki-laki yang tersisa tidak mengeluarkan komentar maupun ekspresi apa pun. Ia terus mendayung perahu tersebut—entah ke arah mana—sambil sesekali berhenti untuk istirahat sebelum melanjutkan kegiatan monotonnya itu.
"Bisa berhenti nangis nggak, sih? Nangis nggak bakal nyelesain apa-apa. Cuma bikin kuping orang lain sakit," sindir seorang gadis kecil yang sejak tadi memandang perempuan yang jauh lebih tua darinya itu tak henti-hentinya menangis.
Tangisnya pun perlahan terhenti. Masih ada sengukan pelan yang tersisa, namun kali ini tak ada lagi air mata yang keluar. "Iya! Nggak usah judes gitu..."
Si gadis kecil mendengus sebal. Sang pemuda yang sejak tadi salah tingkah, kini bisa bernapas lega karena akhirnya tak ada lagi tangisan yang terdengar. Namun kali ini suasananya menjadi sedikit tegang. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk mencairkan suasanya.
"Eh, kita belum tahu nama masing-masing. Aku Arga Winarkia. Panggil aja Arga," ujarnya sambil tersenyum.
Arga mengulurkan tangannya, berharap ada satu orang yang menyambutnya. Namun, setelah beberapa detik tangannya menggantung di udara, Arga akhirnya menjabat tangannya sendiri dan menurunkan tangannya.
"Namaku Reisya..." jawab gadis yang sejak tadi menangis, dengan suara lirih.
"Luna." Si gadis kecil menanggapi dengan jawaban singkat.
Hanya nenek tua di ujung perahu yang tidak menanggapi Arga. Sementara satu lelaki lainnya tidak menjawab karena dia sudah berhenti mendayung dan tidur nyenyak.
___
"Daripada bengong, kita main sambung kata aja, yuk!" ajak Arga dengan antusiasme yang agak berlebihan.
Seperti sebelumnya, Luna menanggapinya dengan dingin. "Mainan bocah..."
Salah satu alis Arga terangkat. 'Kamu kan masih bocah!' katanya dalam hati, kesal.
"Nggak apa-apa, dong. Daripada nggak ngapa-ngapain, kan? Aku mulai duluan, ya. PALU!"
Reisya melirik Luna sejenak sebelum melihat Arga kembali. Pemuda itu sejak tadi berusaha keras untuk mencairkan suasana. Meski canggung, suka berekspresi berlebihan, dan mengeluarkan ajakan main tidak pada tempatnya, Reisya merasa tidak enak jika ia tidak menyambut kebaikan hati pemuda itu.
"Lu...luka?" jawab Reisya tidak yakin.
"KAPAS!" sambut Arga dengan segera.
Permainan berlanjut meski hanya ada dua orang partisipan.
"Pas...ti..."
"TISU!"
"Sumo..."
"MODE!"
"Deg-degan."
"Gan...gan...Hmm...GANTENG! Hahahaha, pas banget!" ucap Arga bangga. Luna mendecih.
"Teng...tengge...tenggelaaamm...Huwaaaa...Kapalnya tenggelaaaamm...huhuhu..." Reisya kembali teringat tragedi barusan dan menangis tak henti-henti.
Arga kembali salah tingkah karena usahanya gagal total.
Luna mendesah panjang. "Udah tenggelam, mau diapain lagi? Daripada nangis terus, mending pikirin gimana caranya kita berlima bisa selamat," katanya dengan nada rendah, namun terdengar ketus dan dingin.
Reisya menghentikan tangisnya. Meski dalam hati masih merasa sangat kalut, ia sebal harus diomeli oleh anak kecil seperti Luna.
Ketegangan di atas perahu kian terasa. Akan tetapi, satu laki-laki yang sejak tadi tidur dan sama sekali tidak merasakan ketegangan itu, kini membuka matanya. Ia mengangkat punggung besarnya dengan malas dan langsung melihat sekeliling tanpa minat.
"Ah...ada pulau..." kata laki-laki itu yang lebih terdengar seperti igauan.
"Jangan ngarang deh, Om," tegur Luna.
"Tapi bener-bener ada—"
"PULAAAAAAAAAAAUUUU!!!" Arga berteriak senang hingga mampu memekakkan telinga empat orang lainnya.
___
"Tenang aja, selama ada tumbuhan dan hewan, kita nggak akan mati kelaparan di pulau ini." Perkataan Arga begitu penuh percaya diri.
Mereka berlima telah mendarat di pulau yang tak sengaja mereka temukan. Melihat hutan yang begitu lebat membentang di sepanjang batas pasir pantai, membuat mereka berpikir ini adalah pulau tak berpenghuni. Atau setidaknya tidak dihuni oleh manusia modern. Mungkin di dalam hutan sana ada suku kuno yang masih bertahan dengan berburu binatang dan minum air sungai. Siapa tahu?
Tak mungkin hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa, mereka pun mulai membagi tugas untuk bertahan hidup setidaknya hingga esok hari. Luna dan Nenek yang minta dipanggil dengan Nek Darsih bertugas mengumpulkan dahan pohon kelapa kering untuk kemudian diserahkan pada Reysa yang mulai membangun tenda mungil sesuai arahan Arga. Arga sendiri masuk-keluar hutan mencari tumbuhan dan buah-buahan yang bisa dimakan. Ia juga mengambil kayu yang cukup kuat dan langsung membuat tombak tajam dengan pisau lipat yang selalu ia bawa. Tombak itu ia gunakan untuk menusuk ikan-ikan yang berenang di area pantai. Sementara, laki-laki yang mengaku bernama Catur, masuk ke dalam hutan untuk mencari sumber air. Namun hingga detik ini ia belum kembali.
Saat semuanya sedang sibuk, terdengarlah suara cipakan air dari arah pantai. Arga yang memang sedang berada di pantai, langsung menoleh ke sumber suara. Seorang gadis muda memakai kemeja putih ala pegawai kantoran sedang berusaha menepi ke pantai dengan mengayun-ayunkan kedua tangan dan kakinya. Namun tampaknya ia sedikit kerepotan karena pelampung bebek berwarna kuning cerah yang dipakainya justru menghambat pergerakan tangannya.
Arga yang bengong selama beberapa detik saat melihat pemandangan itu, akhirnya mencoba kembali ke dunia nyata dengan berbalik badan dan memfokuskan dirinya menangkap ikan.
"WOOI! LIAT CEWEK CANTIK LAGI KESUSAHAN MBOK YA DITOLONGIN DULU!" teriak cewek pelampung bebek itu.
Arga terperanjat. Ternyata yang dilihatnya barusan bukan mimpi. Bukan putri duyung yang ingin naik ke darat dengan mengandalkan pelampung bebek, dia benar-benar manusia. Manusia yang aneh.
___
“Jadi, kamu juga selamat dari kapal Royal Cruises?” Arga memastikan asal-usul wanita yang mengaku bernama Aulia Malikha itu.
“Iyaaa! Udah dibilang berkali-kali! Kamu kira aku pakai pelampung bebek gitu lagi latihan berenang di laut!?” seru Aulia, atau yang lebih senang dipanggil Owi, dengan kesal.
“Abisnya… kenapa harus bebek?”
“Adanya cuma itu…” Aulia menggembungkan pipinya.
Sementara mereka mengobrol, Luna keluar dari balik pohon-pohon yang sangat lebat. Tangan mungilnya menarik ujung kemeja Catur. Ia berjalan menuju Arga dengan langkah cepat. Sementara Catur yang berbadan dua kali lebih besar dari dirinya justru kepayahan mengikuti langkah cepat Luna. Dahinya berkerut dan kedua matanya menyiratkan ketidaksukaan.
“Om ini disuruh cari air malah tidur di pinggir sungai,” lapor Luna pada Arga.
Perhatian Arga sepenuhnya teralihkan pada Luna dan Catur. “Oh, jadi ada sungai dekat sini?” Senyum Arga pun merekah.
Mendengar respon Arga, Luna mengerutkan kedua alisnya. Fokus cowok itu benar-benar berbeda dengan orang normal. ‘Yah, tapi setidaknya dia berpikiran sangat positif’, pikir Luna. ‘Meskipun mengesalkan, sih!’ tambahnya lagi.
___
“Baiklah teman-teman. Persediaan makanan dan minuman kita untuk hari ini sudah cukup. Aku juga sudah membuatkan kemah sederhana dari batang pohon kelapa.” Arga menunjuk dua kemah kecil yang berada tak jauh dari tempat mereka beristirahat.
Kemah itu berada di bawah pohon yang tidak terlalu tinggi, dan memiliki dedaunan yang cukup lebat. Sehingga, meskipun kemah daun kelapa buatan Arga tidak terlalu kuat, setidaknya mereka bisa terlindung dari terik matahari ataupun tetesan air hujan.
Selain memberitahu informasi tentang kemah sementara mereka, Arga juga menjelaskan panjang lebar mengenai apa saja yang harus mereka perhatikan saat berada di alam liar seperti sekarang. Arga menjelaskan semuanya dengan mata berbinar, seolah hidup lima orang lainnya tergantung pada dirinya. Padahal, Luna sudah tahu sebagian bersar ilmu tersebut—hingga akhirnya ia mendengarkan tanpa minat. Nek Darsih justru memandang Arga dengan tatapan marah—entah apa alasan di baliknya. Reisya dan Aulia mendengarkan sambil bengong. Sementara Catur sudah terlelap sejak tadi.
Setelah kuliah tujuh menit yang terasa seperti tujuh abad bagi lima orang selain Arga, mereka akhirnya memutuskan untuk makan buah-buahan yang mereka temukan dari dalam hutan. Matahari sudah mulai terbenam di ufuk timur dan penerangan alami mulai berkurang. Keheningan menyelimuti kegiatan makan mereka. Hingga seseorang membuka obrolan mengenai tenggelamnya kapal pesiar yang mereka naiki…
BERSAMBUNG
Genre: Humour, Fantasy, Mistery, Friendship, Family, Romance --> dah semua genre aja diborong
PART 1 - THE SINKING SHIP
Perahu karet penyelamat berwarna oranye itu terombang-ambing di atas lautan tanpa ujung. Air muka lima orang yang kini di atas perahu itu bermacam-macam. Namun, sebagian besar memasang wajah cemas, takut, pasrah, dan putus asa. Tak ada yang pernah menyangka kalau kapal laut yang mereka tumpangi akan berakhir di dasar laut.
Seorang gadis muda terus menangis menyadari hanya lima orang—termasuk dirinya—yang dapat selamat dari kecelakaan kapal laut yang mereka alami beberapa saat lalu. Meski demikian, tak ada satupun dari empat orang lainnya yang berusaha menghentikan tangisan gadis itu. Seorang nenek yang duduk di ujung perahu hanya memandang langit dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia diselamatkan oleh seorang pemuda berambut pendek—yang juga ada di atas kapal tersebut--meski ia sudah pasrah menerima nasib saat kapal mulai tenggelam. Pemuda yang menyelamatkan nenek itu berusaha menghentikan tangis si gadis
dengan menenangkannya. Namun karena dia sendiri masih dalam keadaan panik, tangisan si gadis malah bertambah kencang. Satu orang laki-laki yang tersisa tidak mengeluarkan komentar maupun ekspresi apa pun. Ia terus mendayung perahu tersebut—entah ke arah mana—sambil sesekali berhenti untuk istirahat sebelum melanjutkan kegiatan monotonnya itu.
"Bisa berhenti nangis nggak, sih? Nangis nggak bakal nyelesain apa-apa. Cuma bikin kuping orang lain sakit," sindir seorang gadis kecil yang sejak tadi memandang perempuan yang jauh lebih tua darinya itu tak henti-hentinya menangis.
Tangisnya pun perlahan terhenti. Masih ada sengukan pelan yang tersisa, namun kali ini tak ada lagi air mata yang keluar. "Iya! Nggak usah judes gitu..."
Si gadis kecil mendengus sebal. Sang pemuda yang sejak tadi salah tingkah, kini bisa bernapas lega karena akhirnya tak ada lagi tangisan yang terdengar. Namun kali ini suasananya menjadi sedikit tegang. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk mencairkan suasanya.
"Eh, kita belum tahu nama masing-masing. Aku Arga Winarkia. Panggil aja Arga," ujarnya sambil tersenyum.
Arga mengulurkan tangannya, berharap ada satu orang yang menyambutnya. Namun, setelah beberapa detik tangannya menggantung di udara, Arga akhirnya menjabat tangannya sendiri dan menurunkan tangannya.
"Namaku Reisya..." jawab gadis yang sejak tadi menangis, dengan suara lirih.
"Luna." Si gadis kecil menanggapi dengan jawaban singkat.
Hanya nenek tua di ujung perahu yang tidak menanggapi Arga. Sementara satu lelaki lainnya tidak menjawab karena dia sudah berhenti mendayung dan tidur nyenyak.
___
"Daripada bengong, kita main sambung kata aja, yuk!" ajak Arga dengan antusiasme yang agak berlebihan.
Seperti sebelumnya, Luna menanggapinya dengan dingin. "Mainan bocah..."
Salah satu alis Arga terangkat. 'Kamu kan masih bocah!' katanya dalam hati, kesal.
"Nggak apa-apa, dong. Daripada nggak ngapa-ngapain, kan? Aku mulai duluan, ya. PALU!"
Reisya melirik Luna sejenak sebelum melihat Arga kembali. Pemuda itu sejak tadi berusaha keras untuk mencairkan suasana. Meski canggung, suka berekspresi berlebihan, dan mengeluarkan ajakan main tidak pada tempatnya, Reisya merasa tidak enak jika ia tidak menyambut kebaikan hati pemuda itu.
"Lu...luka?" jawab Reisya tidak yakin.
"KAPAS!" sambut Arga dengan segera.
Permainan berlanjut meski hanya ada dua orang partisipan.
"Pas...ti..."
"TISU!"
"Sumo..."
"MODE!"
"Deg-degan."
"Gan...gan...Hmm...GANTENG! Hahahaha, pas banget!" ucap Arga bangga. Luna mendecih.
"Teng...tengge...tenggelaaamm...Huwaaaa...Kapalnya tenggelaaaamm...huhuhu..." Reisya kembali teringat tragedi barusan dan menangis tak henti-henti.
Arga kembali salah tingkah karena usahanya gagal total.
Luna mendesah panjang. "Udah tenggelam, mau diapain lagi? Daripada nangis terus, mending pikirin gimana caranya kita berlima bisa selamat," katanya dengan nada rendah, namun terdengar ketus dan dingin.
Reisya menghentikan tangisnya. Meski dalam hati masih merasa sangat kalut, ia sebal harus diomeli oleh anak kecil seperti Luna.
Ketegangan di atas perahu kian terasa. Akan tetapi, satu laki-laki yang sejak tadi tidur dan sama sekali tidak merasakan ketegangan itu, kini membuka matanya. Ia mengangkat punggung besarnya dengan malas dan langsung melihat sekeliling tanpa minat.
"Ah...ada pulau..." kata laki-laki itu yang lebih terdengar seperti igauan.
"Jangan ngarang deh, Om," tegur Luna.
"Tapi bener-bener ada—"
"PULAAAAAAAAAAAUUUU!!!" Arga berteriak senang hingga mampu memekakkan telinga empat orang lainnya.
___
"Tenang aja, selama ada tumbuhan dan hewan, kita nggak akan mati kelaparan di pulau ini." Perkataan Arga begitu penuh percaya diri.
Mereka berlima telah mendarat di pulau yang tak sengaja mereka temukan. Melihat hutan yang begitu lebat membentang di sepanjang batas pasir pantai, membuat mereka berpikir ini adalah pulau tak berpenghuni. Atau setidaknya tidak dihuni oleh manusia modern. Mungkin di dalam hutan sana ada suku kuno yang masih bertahan dengan berburu binatang dan minum air sungai. Siapa tahu?
Tak mungkin hanya diam saja tanpa melakukan apa-apa, mereka pun mulai membagi tugas untuk bertahan hidup setidaknya hingga esok hari. Luna dan Nenek yang minta dipanggil dengan Nek Darsih bertugas mengumpulkan dahan pohon kelapa kering untuk kemudian diserahkan pada Reysa yang mulai membangun tenda mungil sesuai arahan Arga. Arga sendiri masuk-keluar hutan mencari tumbuhan dan buah-buahan yang bisa dimakan. Ia juga mengambil kayu yang cukup kuat dan langsung membuat tombak tajam dengan pisau lipat yang selalu ia bawa. Tombak itu ia gunakan untuk menusuk ikan-ikan yang berenang di area pantai. Sementara, laki-laki yang mengaku bernama Catur, masuk ke dalam hutan untuk mencari sumber air. Namun hingga detik ini ia belum kembali.
Saat semuanya sedang sibuk, terdengarlah suara cipakan air dari arah pantai. Arga yang memang sedang berada di pantai, langsung menoleh ke sumber suara. Seorang gadis muda memakai kemeja putih ala pegawai kantoran sedang berusaha menepi ke pantai dengan mengayun-ayunkan kedua tangan dan kakinya. Namun tampaknya ia sedikit kerepotan karena pelampung bebek berwarna kuning cerah yang dipakainya justru menghambat pergerakan tangannya.
Arga yang bengong selama beberapa detik saat melihat pemandangan itu, akhirnya mencoba kembali ke dunia nyata dengan berbalik badan dan memfokuskan dirinya menangkap ikan.
"WOOI! LIAT CEWEK CANTIK LAGI KESUSAHAN MBOK YA DITOLONGIN DULU!" teriak cewek pelampung bebek itu.
Arga terperanjat. Ternyata yang dilihatnya barusan bukan mimpi. Bukan putri duyung yang ingin naik ke darat dengan mengandalkan pelampung bebek, dia benar-benar manusia. Manusia yang aneh.
___
“Jadi, kamu juga selamat dari kapal Royal Cruises?” Arga memastikan asal-usul wanita yang mengaku bernama Aulia Malikha itu.
“Iyaaa! Udah dibilang berkali-kali! Kamu kira aku pakai pelampung bebek gitu lagi latihan berenang di laut!?” seru Aulia, atau yang lebih senang dipanggil Owi, dengan kesal.
“Abisnya… kenapa harus bebek?”
“Adanya cuma itu…” Aulia menggembungkan pipinya.
Sementara mereka mengobrol, Luna keluar dari balik pohon-pohon yang sangat lebat. Tangan mungilnya menarik ujung kemeja Catur. Ia berjalan menuju Arga dengan langkah cepat. Sementara Catur yang berbadan dua kali lebih besar dari dirinya justru kepayahan mengikuti langkah cepat Luna. Dahinya berkerut dan kedua matanya menyiratkan ketidaksukaan.
“Om ini disuruh cari air malah tidur di pinggir sungai,” lapor Luna pada Arga.
Perhatian Arga sepenuhnya teralihkan pada Luna dan Catur. “Oh, jadi ada sungai dekat sini?” Senyum Arga pun merekah.
Mendengar respon Arga, Luna mengerutkan kedua alisnya. Fokus cowok itu benar-benar berbeda dengan orang normal. ‘Yah, tapi setidaknya dia berpikiran sangat positif’, pikir Luna. ‘Meskipun mengesalkan, sih!’ tambahnya lagi.
___
“Baiklah teman-teman. Persediaan makanan dan minuman kita untuk hari ini sudah cukup. Aku juga sudah membuatkan kemah sederhana dari batang pohon kelapa.” Arga menunjuk dua kemah kecil yang berada tak jauh dari tempat mereka beristirahat.
Kemah itu berada di bawah pohon yang tidak terlalu tinggi, dan memiliki dedaunan yang cukup lebat. Sehingga, meskipun kemah daun kelapa buatan Arga tidak terlalu kuat, setidaknya mereka bisa terlindung dari terik matahari ataupun tetesan air hujan.
Selain memberitahu informasi tentang kemah sementara mereka, Arga juga menjelaskan panjang lebar mengenai apa saja yang harus mereka perhatikan saat berada di alam liar seperti sekarang. Arga menjelaskan semuanya dengan mata berbinar, seolah hidup lima orang lainnya tergantung pada dirinya. Padahal, Luna sudah tahu sebagian bersar ilmu tersebut—hingga akhirnya ia mendengarkan tanpa minat. Nek Darsih justru memandang Arga dengan tatapan marah—entah apa alasan di baliknya. Reisya dan Aulia mendengarkan sambil bengong. Sementara Catur sudah terlelap sejak tadi.
Setelah kuliah tujuh menit yang terasa seperti tujuh abad bagi lima orang selain Arga, mereka akhirnya memutuskan untuk makan buah-buahan yang mereka temukan dari dalam hutan. Matahari sudah mulai terbenam di ufuk timur dan penerangan alami mulai berkurang. Keheningan menyelimuti kegiatan makan mereka. Hingga seseorang membuka obrolan mengenai tenggelamnya kapal pesiar yang mereka naiki…
BERSAMBUNG
Langganan:
Komentar (Atom)

